Twitter Bhackty Boomers MySpace YouTube RSS Feed
expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>
free web site traffic and promotion

Selasa, 07 Juni 2011

Pelanggaran Kode Etik Advokat

1. PENGERTIAN PELANGGARAN KODE ETIK PROFESI

Kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh sekelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu profesi itu dimata masyarakat.
Pelanggaran kode etik profesi adalah penyelewengan/ penyimpangan terhadap norma yang ditetapkan dan diterima oleh sekelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu profesi itu dimata masyarakat.

2. PENYEBAB PELANGGARAN KODE ETIK PROFESI
• tidak berjalannya kontrol dan pengawasan dri masyarakat
• organisasi profesi tidak di lengkapi dengan sarana dan mekanisme bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhan
• rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai substansi kode etik profesi, karena buruknya pelayanan sosialisasi dari pihak profesi sendiri
• belum terbentuknya kultur dan kesadaran dari para pengemban profesi untuk menjaga martabat luhur profesinya
• tidak adanya kesadaran etis da moralitas diantara para pengemban profesi untuk menjaga martabat luhur profesinya
3. UPAYA YANG MUNGKIN DILAKUKAN

Adapun upaya yang diharapkan untuk menghindari pelanggaran kode etik salah satunya bagi para pengguna internet adalah:
• Menghindari dan tidak mempublikasi informasi yang secara langsung berkaitan dengan masalah pornografi dan nudisme dalam segala bentuk.
• Menghindari dan tidak mempublikasi informasi yang memiliki tendensi menyinggung secara langsung dan negative masalah suku, agama dan ras(SARA), termasuk di dalamnya usaha penghinaan, pelecehan, pendiskreditan, penyiksaan serta segala bentuk pelanggaran hak atas perseorangan, kelompok/ lembaga/ institusi lain.
• Menghindari dan tidak mempublikasikan informasi yang berisi Instruksi untuk melakukan perbuatan melawan hukum(illegal) positif di Indonesia dan ketentuan internasional umumnya.
• Tidak menampilkan segala bentuk eksploitasi terhadap anak-anak dibawah umur.
• Tidak mempergunakan, mempublikasikan dan atau saling bertukar materi dan informasi yang memiliki korelasi terhadap kegiatan pirating, hacking dan cracking.
• Bila mempergunakan script, program, tulisan, gambar/ foto, animasi, suara atau bentuk materi dan informasi lainnya yang bukan hasil karya sendiri harus mencantumkan identitas sumber dan pemilik hak cipta bila ada dan bersedia untuk melakukan pencabutan bila ada yang mengajukan keberatan serta bertanggung jawab atas segala konsekuensi yang mungkin timbul karenanya.
4. CONTOH KASUS PELANGGARAN KODE ETIK PROFESI
NAMA Todung Mulya Lubis tentu tidak asing lagi bagi banyak masyarakat. Apalagi untuk dunia hukum di Indonesia, Todung Mulya Lubis memiliki trademark tersendiri. Analisis hukum yang sering dilontarkannya seringkali tajam dan kritis. Begitu pula ketika berbicara soal korupsi, Todung sering berbicara blak-blakan. Sebagai ketua Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Todung termasuk tokoh yang mengkritik keras adanya monopoli dan oligopoli yang dilakukan oleh para konglomerat di Indonesia. Pun, Todung menjadi bagian penting dalam kampanye penegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Yang tidak kalah penting, sebagai pengacara Todung mendapat banyak kepercayaan dari sejumlah korporasi ternama. Pada saat Majalah Time menghadapi gugatan dari mantan Presiden Soeharto, Todung menjadi pengacara yang dipercaya untuk menghadapi gugatan tersebut. Bahkan, perusahaan telekomunikasi ternama Temasek dari Singapura mempercayakan Todung sebagai kuasa hukumnya di Indonesia. Untuk kasus pertama, Mahkamah Agung akhirnya memutuskan tulisan Time tentang kekayaan keluarga Pak Harto tidak benar, sehingga Time harus membayar ganti rugi moril sebesar Rp 3 triliun kepada Pak Harto. Sementara Temasek dinilai telah melakukan monopoli bisnis telekomunikasi di Indonesia oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Kabar terakhir, Majelis Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) DKI Jakarta menjatuhkan hukuman dengan mencabut ijin kepengacaraan Todung seumur hidup. Todung dinilai telah melanggar etika sebagai pengacara dalam perseteruan Sugar Group melawan Salim Group. Pada tahun 2002, Todung menjadi pengacara untuk Sugar Group, namun tahun 2006 Todung menjadi pengacara Salim Group. Selain itu, Todung juga pernah menjadi auditor BPPN untuk menangani Salim Group. Sehingga, sebagai pengacara Todung disebut “plin-plan” dan “hanya mengejar uang.”
Benarkah? Keputusan Peradi DKI Jakarta memang belum final. Todung tentu saja tengah bersiap-siap melakuikan perlawanan. Beberapa pengacara senior pun ada yang membela Todung—dengan mengatakan agar keputusan Peradi DKI Jakarta mencabut ijin kepengacaraan Todung Mulya Lubis seumur hidup, diabaikan. Pastilah masing-masing pihak, yang setuju dan tidak setuju, senang dan tidak senang, memiliki argumentasi berdasarkan kaidah-kaidah perundangan dan kode etik yang berlaku. Kita masih menunggu bagaimana akhir kisah Todung Mulya Lubis ini.
Menarik lebih luas mengenai pelanggaran kode etik di Indonesia, barangkali kasus Todung hanyalah satu dari sekian banyak kasus serupa. Kode etik untuk sebuah profesi adalah sumpah jabatan yang juga diucapkan oleh para pejabat Negara. Kode etik dan sumpah adalah janji yang harus dipegang teguh. Artinya, tidak ada toleransi terhadap siapa pun yang melanggarnya. Benar adanya, dibutuhkan sanksi keras terhadap pelanggar sumpah dan kode etik profesi. Bahkan, apabila memenuhi unsur adanya tindakan pidana atau perdata, selayaknya para pelanggar sumpah dan kode etik itu harus diseret ke pengadilan.Kita memang harus memiliki keberanian untuk lebih bersikap tegas terhadap penyalahgunaan profesi di bidang apa pun. Kita pun tidak boleh bersikap diskrimatif dan tebang pilih dalam menegakkan hukum di Indonesia. Kode etik dan sumpah jabatan harus ditegakkan dengan sungguh-sungguh. Profesi apa pun sesungguhnya tidak memiliki kekebalan di bidang hukum. Penyalahgunaan profesi dengan berlindung di balik kode etik profesi harus diberantas. Kita harus mengakhiri praktik-praktik curang dan penuh manipulatif dari sebagian elite masyarakat. Ini penting dilakukan, kalau Indonesia ingin menjadi sebuah Negara dan Bangsa yang bermartabat
Contoh Kasus Tentang Bisnis yang Tidak Beretika “Langgar Hak Paten, Ericsson Gugat Samsung”
Bab I
Pendahuluan
Kata paten, berasal dari bahasa inggris patent, yang awalnya berasal dari kata patere yang berarti membuka diri (untuk pemeriksaan publik), dan juga berasal dari istilah letters patent, yaitu surat keputusan yang dikeluarkan kerajaan yang memberikan hak eksklusif kepada individu dan pelaku bisnis tertentu. Dari definisi kata paten itu sendiri, konsep paten mendorong inventor untuk membuka pengetahuan demi kemajuan masyarakat dan sebagai gantinya, inventor mendapat hak eksklusif selama periode tertentu. Mengingat pemberian paten tidak mengatur siapa yang harus melakukan invensi yang dipatenkan, sistem paten tidak dianggap sebagai hak monopoli.
Menurut undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten, Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 1).
Secara umum, ada tiga kategori besar mengenai subjek yang dapat dipatenkan: proses, mesin, dan barang yang diproduksi dan digunakan. Proses mencakup algoritma, metode bisnis, sebagian besar perangkat lunak (software), teknik medis, teknik olahraga dan semacamnya. Mesin mencakup alat dan aparatus. Barang yang diproduksi mencakup perangkat mekanik, perangkat elektronik dan komposisi materi seperti kimia, obat-obatan, DNA, RNA, dan sebagainya.
Raksasa perangkat jaringan mobile Ericsson melayangkan gugatan terhadap pembuat ponsel Samsung Electronics. Gugatan ini diajukan karena Samsung dituduh telah melanggar hak paten. “Kami sudah melayangkan gugatan hukum kepada Samsung terkait pelanggaran hak paten di Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Belanda,” kata Ase Lindskog, juru bicara Ericsson. Menurut Lindskog, pihaknya telah melakukan negosiasi besar dengan Samsung terkait pembaharuan lisensi. “Kesepakatan mereka dengan kami telah berakhir sejak 31 Desember tahun lalu,” ujarnya lagi. Masalahnya, Samsung masih memakai paten ponsel yang tidak berlisensi lagi. Ketika dikonfirmasi, juru bicara Samsung di Seoul masih enggan mengomentari masalah ini. Entah iri atau ingin menjatuhkan rival, yang jelas kasus pelanggaran paten dan perlawanan legal lainnya sudah sering bahkan biasa terjadi di sektor teknologi. Bisa jadi karena perusahaan telah menghabiskan banyak dana untuk penelitian dan pengembangan (R&D).
Selain Samsung, Ericsson juga pernah menggugat Qualcomm. Tahun lalu Ericsson pernah mengadu ke Uni Eropa karena Qualcomm dituduh telah ‘mencekik’ kompetisi di pasar chip ponsel. Kembali ke gugatan terhadap Samsung. Lindskog mengatakan beberapa paten teknologi yang digugat Ericsson kepada Samsung adalah GSM (Global System for Mobile Communications), GPRS (General Packet Radio Service) dan EDGE (Enhanced Data rates for GSM Evolution). “Ini adalah tindakan yang patut disayangkan, tetapi kami harus melindungi para pemegang saham dan investor kami karena kami sudah menginvestasikan banyak dana di R&D selama bertahun-tahun,” kata Lindskog.
Bab II
Pembahasan
Kata paten, berasal dari bahasa inggris patent, yang awalnya berasal dari kata patere yang berarti membuka diri (untuk pemeriksaan publik), dan juga berasal dari istilah letters patent, yaitu surat keputusan yang dikeluarkan kerajaan yang memberikan hak eksklusif kepada individu dan pelaku bisnis tertentu. Dari definisi kata paten itu sendiri, konsep paten mendorong inventor untuk membuka pengetahuan demi kemajuan masyarakat dan sebagai gantinya, inventor mendapat hak eksklusif selama periode tertentu. Mengingat pemberian paten tidak mengatur siapa yang harus melakukan invensi yang dipatenkan, sistem paten tidak dianggap sebagai hak monopoli.
Menurut undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten, Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 1).
Secara umum, ada tiga kategori besar mengenai subjek yang dapat dipatenkan: proses, mesin, dan barang yang diproduksi dan digunakan. Proses mencakup algoritma, metode bisnis, sebagian besar perangkat lunak (software), teknik medis, teknik olahraga dan semacamnya. Mesin mencakup alat dan aparatus. Barang yang diproduksi mencakup perangkat mekanik, perangkat elektronik dan komposisi materi seperti kimia, obat-obatan, DNA, RNA, dan sebagainya.
Pelaksanaan hak lewat lisensi :
a. Pemegang hak paten dapat memberikan ijin melalui perjanjian lisensi kepada pihak lain untuk melaksanakan penemuannya. Isi perjanjian lisensi harus tidak menyimpang dari ketentuan dalam undang-undang paten.
b. Perjanjian lisensi sebagaimana diatas, dapat memuat hal-hal sebagai berikut :
• Hak-hak yang diberikan dalam lisensi (hak khusus/tidak khusus, dapat ditarik kembali atau tidak, hak atas dokumentasi atau tidak, dll)
• Jangka waktu lisensi (tidak terbatas atau terbatas, hak memperbarui dan jangka waktunya)
• Ruang lingkup lisensi (lisensi pada aspek apa, pengguna, unit, pengguna oleh pihak ketiga/anak perusahaan, hak untuk merubah penemuan, larangan penggunaan)
• Pembatasan pengalihan dan sublisensi (biasanya lisensi tidak boleh dialihkan, disublisensikan, dll; biasanya licensee tidak boleh menggunakan penemuan untuk kepentingan pihak dilluar perjanjian, pembatasan penggunaan pada lokasi tertentu)
• Pemilikan atas penemuan (menyatakan pemilikan llicensor atas seluruh hak, hak cipta, hak merek, dll dalam penggunaan, penemuan dan dokumen terkait; pengakuan akan rahasia dagang; pembatasan akses bagi pihak lain; pemilikan merupakan representasi licensor atau penemuan; masalah pemilikan dalam kaitan dengan modifikasi)
• Syarat pembayaran (jadwal pembayaran, keterlambatan, pengiriman barang, penjualan, penggunaan, pajak, dll)
• Prosedur penerimaan (hak untuk menguji pada periode waktu yang ditentukan, hak untuk menolak)
• Pelatihan (skopa pelatihan yang disediakan lilsencor, biaya, lokasi, jumlah peserta, pelatihan pegawai baru)
• Jaminan/warranties (lisencor akan memberikan jaminan yang sangat terbatas misalnyasyarat jaminan ataskerusakan hanya berlaku 90 hari pertama; lisencee boleh meminta jaminan bahwa paling tidak penemuan berfungsi seperti apa yang digambarkan oleh dokumen; jangka waktu; prosedur pemberitahuan kerusakan; prosedur dan waktu tanggapan untuk perbaikan; perubahan akan menghapus jaminan; dll)
• Pembatasan tanggung jawab lisencor (atas kerusakan tidak langsung; khusus; kecelakaan; atas kehilangan keuntungan, pendapatan, informasi, penggunaan, biaya; atas total kerusakan)
• Hak inspeksi (licensor berhak untuk menginspeksi pekerjaan licensee apakah dilakukan sesuai isi perjanjian)
• Layanan pendukung dan pemeliharaan (ruang lingkup; waktu tanggapan; pembayaran; kenaikan harga; hubungan dengan perjanjian terpisah)
• Tidak mengungkap informasi rahasia ( persetujuan untuk menyimpan informasi rahasia; jangka waktu; lingkup informasi yang dilindungi; pengecualian; perjanjian membuat karyawan bertindak sesuai dengan batasan kerahasiaan)
• Denda atas pelanggaran ( lingkup denda; pemberitahuan kepada licensor tentang klaim tidak adanya pelanggaran; penngawasan oleh licensor)
• Berakhirnya perjanjian (hak licensor untuk mengakhiri; hak licensee untuk mengakhiri; gagal bayar dan sengketa tentang pembayran yang disyaratkan; akibat pengakhiran kontrak; pengembalian barang setelah akhir kontrak; kewajiban licensee berhenti menggunakan barang setelah akhir kontrak; sertifikasi)
• Masalah khusus lain (klausula most favored nation; perlindungan harga; pemasangan; dll)
• Lain-lain ( hukum yang mengatur; yurisdiksi; pengumuman; hubungan antar pihak; penafsiran terhadap isi kontrak; fee pengacara; force majeure; dll)
c. Terhadap paten yang tidak dilaksanakan oleh pemegang hak, pihak ketiga dapat meminta pengadilan menetapkan dirinya sebagai penerima lisensi dalam rangka dapat melaksanakan paten tersebut. Tindakan ini disebut sebagai lisen.
Dalam dunia bisnis sering kali perusahaan melakukan banyak cara agar memenangkan persaingan termasuk dengan cara pelanggaran hak paten. Banyak alasan mengapa sebuah perusahaan melakukan pelanggaran hak paten. Penyebabnya bisa jadi karena perusahan telah menghabiskan banyak dana untuk penelitian dan pengembangan, takut kalah dari persaing, dan lain-lain.
Pelanggaran yang dilakukan pihak Samsung sangatlah tidak baik, mengingat telah berakhirnya kesepakatan antara Samsung dan Ericsson. Hal ini sangat merugikan Ericsson karena Ericsson telah melakukan penelitian dan pengembangan yang memakan banyak biaya serta waktu yang tidak sedikit. Dampaknya bagi Ericsson adalah para investor akan mencabut penanaman modalnya yang mengakibatkan Ericsson akan mengalami kerugian besar.
Bab
III
Penutup
Kesimpulan
Saat ini demi memenangkan persaingan banyak perusahaan yang melakukan pelanggaran hak paten. Dari contoh kasus diatas dapat disimpulkan bahwa pelanggaran hak paten adalah suatu tindakan yang dapat merugikan orang lain. Dari hubungan kemitraan antara Samsung dan Ericsson. Akhirnya berakhir dengan gugatan.
Saran
Sebaiknya jangan hanya karena keuntungan semata kita merugikan orang lain. Agar mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, kita melakukan hal yang dapat merugikan orang lain. Berbisnislah dengan cara yang benar dan sesuai etika bisnis.
Berbagai kasus kekerasan atas nama agama kerap terjadi di Indonesia. Mulai dari kasus penistaan agama Lia Eden hingga penyerbuan jemaah Ahmadiyah yang dianggap sesat.
Tak terhitung pula korban jiwa dan harta yang terjadi dalam kasus-kasus tersebut. Dalam setiap kasus kekerasan agama, korban biasanya mendapat pembelaan dari dari pengacara yang mendampingi mereka, baik di pengadilan maupun di lapangan.
Ternyata tak mudah menjadi pengacara kasus kebebasan beragama. Mereka kerap diteror, hingga dituding ikut membela kelompok yang dianggap sesat oleh sebagian masyarakat itu. Reporter KBR68H Budhi Kurniawan mencuplik sedikit kisah mereka yang membela keberagaman di negeri penuh perbedaan bernama Indonesia.
Teror di Bekasi Timur
Saor Siagian masih ingat kejadian pagi itu. Usai mendampingi jemaat gereja di daerah Bekasi Timur yang kegiatan ibadahnya dihentikan paksa oleh warga, mobil Saor dihentikan di tengah jalan. Ia diancam sejumlah orang.
Saor Siagian: "Ketika kita ikut di lapangan dibilang kita sebagai provokator. Bahkan diancam, kalau Anda biasa berhadapan dengan polisi mungkin enteng, tapi kalau berhadapan dengan kami, Anda harus berhitung. Coba jangan lagi datang, kalau Anda datang lagi, kami tak bisa jamin Anda selamat apa tidak. Dalam kondisi pulang, pernah kami, mobil kami diberhentikan. Sementara ada jemaat dalam mobil yang harus kami selamatkan. Dia mau coba buka pintu tak bisa, bannya mau dikempesin, karena sempat diberhentikan."
Itu bukan satu-satunya kejadian yang pernah dialami Saor. Semua terkait dengan kasus kebebasan beragama yang ditangani Saor, Koordinator Tim Pembela Kebebasan Beragama. Tim ini dibentuk oleh sejumlah pengacara untuk menyikapi maraknya berbagai kasus penutupan gereja di sejumlah tempat.
Selain menangani kasus penutupan paksa sejumlah gereja di sejumlah tempat, Saor juga menjadi pembela untuk kasus penistaan agama Lia Eden dan penyerangan terhadap mesjid dan jemaah Ahmadiyah.
Kasus Ahmadiyah
Asfinawati, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta punya pengalaman lain. Gara-gara membela Ahmadiyah, ia mesti perang urat saraf dengan orang tua-nya. Ia dianggap ikut membela keyakinan yang dianggap sesat.
Asfinawati: "Bapak saya sangat tidak setuju saya membela Ahmadiyah. Sehingga itu harus jadi bahan perdebatan antara kita. Dan saya pikir ini sudah di luar kapasitas orang tua mencampuri pekerjaan anaknya, karena saya toh tidak menjadi Ahmadiyah. Tidak percaya juga dengan yang diyakini Ahmadiyah. Ini sebenarnya cuma cermin dari bagaimana masyarakat kita secara sempit, gejalanya mereka seringkali mereka punya pendapat tapi sebenarnya tak mengecek pada sumbernya. Itu hanya dengar-dengar."
Kata Asfin, ia hanya membela kebebasan orang untuk memeluk keyakinannya. Ia masih meyakini kebebasan itu dijamin Undang-Undang Dasar 1945. Tak soal ia percaya dengan ajarannya atau tidak.
Keyakinan ini juga ada pada diri Saor Siagian.
Saor Siagian: "Belum bisa membedakan sebenarnya yang kita bela bukan keyakinan. Tapi hak-hak hukum daripada para tersangka di mana konstitusi menjamin bahwa mereka bebas menjalankan keyakinannya, sejauh mereka tidak melakukan kriminalisasi, tidak mengganggu ketertiban atau pelanggaran dan lain-lain."
Tuntutan klien
Membela kelompok yang dianggap sesat pun seringkali disertai syarat dari yang dibela. Maklum, klien mereka adalah orang-orang dengan keyakinan yang berbeda dari orang kebanyakan. Menurut Saor, saat menangani kasus Lia Eden tahun 2005, kliennya sempat ragu dengan komitmen dia sebagai pengacara untuk membela mereka. Ia sampai diminta bersumpah ala ajaran Eden demi membuktikan komitmennya.
Saor Siagian: "Waktu dia dulu diseret ke pengadilan, kami diminta melakukan sumpah. Waktu itu klarifikasi sumpah seperti apa karena kami sebagai advokat sebelum praktek advokat, kami telah melakukan sumpah. Setelah kami lihat ternyata sumpahnya itu kami tidak boleh bohong, harus jujur dan lain-lain. Karena itu juga bagian dari advokat, kami sudah melakukan. Mereka setuju dan kami tidak perlu melakukan sumpah tersebut. Yang kami hindari jangan sampai kami melakukan ritual yang spesifik agama tertentu karena kami bukan jamaah itu."
Dari beragam kasus yang terjadi, rupanya ada satu kemiripan. Yaitu adanya orang-orang yang memprotes keberadaan kelompok lain, meski sebelumnya mereka sudah saling mengenal. Ketika berada di ruang sidang, Asfinawati, Direktur LBH Jakarta, menyaksikan bagaimana dua kubu saling berlawanan karena sama-sama mempertahankan keyakinan.
Asfinawati: "Dan antara pembela dan penonton itu dibatasi oleh pagar kayu. Ketika menoleh ke kanan saya melihat orang-orang yang begitu yakin degan keyakinannya. Yaitu teman-teman Eden, terdakwa. Ketika melihat ke kiri, ada orang-orang juga yang mendemo yang saya yakin mereka juga berdemo karena keyakinannya juga. Jadi kalau saya lihat kanan-kiri, keduanya sebenarnya sama-sama ingin memperjuangkan keyakinan. Dari situ saya pikir, wah ini saya kini sebetulnya korban dan masyarakat termasuk orang yang melaporkan sebetulnya korban juga."
Korban jadi terdakwa
Di ruang pengadilan, mereka yang berbeda biasanya ditempatkan di kursi pesakitan. Dijadikan terdakwa. Pasal yang seringkali dikenakan adalah pasal penodaan agama serta penyebaran kebencian pada kelompok lain dalam KUHP. Asfinawati, Direktur LBH Jakarta menilai pasal tersebut sebagai pasal karet, karena definisinya terlalu lentur. Misalnya soal frase 'penodaan agama'.
Asfinawati: "Penodaan agama itu tak ada pengertiannya dalam KUHP. Seperti pasal karet bisa dilenturkan ke mana-mana maka yang menafsirkan adalah kekuasaan, termasuk kekuasaan atau yang dianggap memegang otoritas agama saat itu. Dalam banyak kasus polisi harus bertanya pada kelompok keagamanan yang mana yang sesat, dan di situ ia harus memilih. Kalau ada sepuluh kelompok agama dalam agama yang sama, maka dia harus memilih salah satu yang diambil pendapatnya. Dan itulah sebetulnya diskriminasi kepada kelompok yang lain."
Pasal soal penodaan agama ini datangnya dari UU tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Direktur Riset YLBHI Zainal Abidin mengatakan, pasal itu yang biasanya dipakai untuk menjerat mereka yang dianggap sesat.
Zainal Abidin: "Amandemen kedua jelas memasukkan berbagai instrumen HAM yang menjamin hak atas kebebasan beragama. UU 39 tentang HAM, terakhir ratifikasi konvenan sipil and political right, dengan UU No 12 tahun 2005. Nah UU itu pada prinsipnya menjamin kebebasan beragama. Tapi ada produk lama, seperti UU No1 PNPS 65 yang sampai sekarang belum dicabut, yang berbagai macam pasalnya terus menerus jadi dasar pemerintah atau negara untuk melakukan tindakan yang bisa mengurangi atau melanggar kebebasan beragama."
Peran aparat
Bukan cuma aturan hukumnya yang bermasalah, tapi juga aparat pelaksana aturan tersebut. Alih-alih melindungi, aparat kerap membiarkan aksi pelaku kekerasan agama. Seperti yang terjadi di Silang Monas, pada 1 Juni lalu, ketika seratusan orang yang sedang merayakan hari jadi Pancasila, diserbu oleh kelompok Laskar Pembela Islam. Zainal Abidin Direktur Riset YLBHI.
Zainal Abidin: "Kemungkinan aparat juga terdesak atau mengikuti kemauan kelompok yang seolah-olah sepertinya mayoritas karena hanya berani bersuara keras sehingga seringkali aparat itu tidak mampu memproteksi kelompok minoritas dan terpaksa dengan dalih pengamanan malah mengalihkan teman-teman yang seharusnya dilindungi, aparat kayaknya harus memilih, kalau dia tak mengikuti kelompok ini, akan mengalami suatu hal yang menyulitkan bagi mereka."
Hal yang serupa diungkap aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan AKBB, Nong Darol Mahmadah. Kata Nong, sepanjang pelaku kekerasan agama dibiarkan, kasus serupa bakal bertambah.
Nong Darol Mahmadah: "Kalau pemerintah tak lagi tegas terhadap kelompok-kelompok itu, penyerangan atas nama agama akan terjadi terus menerus. Karena itu harus tegas bahwa di Indonesia, konstitusi sangat mendukung keberagamaan, agama apapun, selama tidak menyerang melakukan kekerasan, itu dilindungi."
Mengadili keyakinan seseorang, memaksa orang untuk memeluk keyakinan lain demi keseragaman dan kenyamanan orang lain, bisa jadi sesuatu yang sia-sia. Direktur LBH Jakarta Asfinawati menunjuk kepada mereka yang menganut aliran Lia Eden atau menjalani ajaran Ahmadiyah. Keyakinan mereka tak berubah, kata Asfin, meski mereka diserang kiri kanan. Tak peduli rumah telah porak poranda, tak peduli pemimpin mereka dihukum penjara, keyakinan mereka tetap bergeming.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar